banner

Selasa, 12 Juni 2012

Anatomi Inefisiensi Belanja Negara

Anatomi Inefisiensi Belanja Negara

Pemborosan anggaran bukanlah fenomena baru. Meskipun kadarnya memang parah sejak lama, toh Presiden SBY baru tersentak setelah tudingan itu mengarah kepadanya. Presiden dituding memboroskan anggaran untuk hal-hal yang remeh semacam ongkos pembuatan baju, penyusunan pidato, atau perjalanan yang tidak penting. Inilah efek positif penerapan Undang-undang nomor 40 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Walaupun terkesan reaktif, SBY masih bisa berpikir positif tentang besarnya inefisiensi belanja negara dalam APBN di berbagai bidang sehingga dirasa cukup perlu untuk membentuk tim yang bertugas mengevaluasi penggunaan belanja negara baik APBN maupun APBD. Memang, di luar pemborosan yang terkesan sembarangan itu masih banyak kegiatan dengan ‘bungkus’ yang lebih rapi tapi sama borosnya.
APBN disusun melalui proses yang cukup panjang, bahkan dimulai satu tahun sebelum pelaksanaan. Diawali penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dimana Bappenas menjadi nahkoda. Ada kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan tingkat Pusat (MUsrenbangpus) berupa dialog di antara Pemerintah Pusat, kemudian diteruskan dengan Musrenbang tingkat nasional (Musrenbangnas) dimana Kepala Daerah Provinsi, dan Kabupaten/Kota terlibat dalam dialog tersebut. RKP final diajukan ke DPR untuk menjadi lampiran RUU APBN dimana dari pihak Pemerintah diwakili oleh Kementerian Keuangan. Proses panjang selama setahun yang menyita banyak waktu, tenaga, dan pikiran ini tentunya diharapkan dapat menjadikan APBN yang dapat diandalkan sebagai akselerator perekonomian dari sektor pemerintah.
Tapi itu bukan jaminan bahwa pelaksanaannya akan jauh dari pemborosan. Beberapa titik dalam proses perencanaan APBN di pemerintahan dan penganggaran di DPR yang perlu direvitalisasi untuk meminimalisir ‘lolosnya’ kegiatan pemborosan adalah sebagai berikut.Pertama, menteri atau kepala badan pada Kementerian/Lembaga (K/L) seringkali tidak melakukan kontrol terhadap seluruh proses usulan kegiatan APBN yang dilaksanakan intansinya. Ada yang menganggap bahwa mengurusi perencanaan APBN (yang jumlah kegiatannya bisa mencapai ratusan hingga ratusan proyek) bukanlah sesuatu yang harus diurusi menteri. Sudah biasa jika sering terjadi ketidak-’ngeh’-an para menteri ketika dikonfirmasi akan sejumlah kegiatan yang isinya hanya pemborosan saja. Ada juga anekdot yang mengatakan bahwa beberapa menteri lebih memilih menanyakan ‘berapa jumlah anggaran kita’ daripada ‘untuk apa saja anggaran itu’. Akibat lanjutannya adalah perencanaan kegiatan dipegang penuh oleh birokrasi, sementara birokrasi punya kebiasaan mempertahankan proyek yang sudah di tangan sambil bersiap menerima tambahan alokasi anggaran. Yang penting dapat dananya dulu walaupun belum tahu akan digunakan untuk kegiatan apa. Akhirnya, K/L tidak melakukan seleksi yang ketat terhadap usulannya, sehingga usulan-usulan tersebut meluncur sampai ke DPR.
Kedua, kelemahan di tingkat pengusulan oleh K/L dilengkapi oleh lemahnya penilai (assessor) usulan kegiatan. Dalam hal ini instansi yang menjadi ‘portal’ di pemerintahan adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Kemenkeu dan Bappenas seharusnya tidak berkutat pada besaran makro saja, tapi perlu lebih teliti pada subyek kegiatan. Seringkali substansi kegiatan dianggap sudah selesai di masing-masing K/L. Lalu pembahasan di sidang kabinet sama sekali tidak memungkinkan untuk membahas satu-persatu kegiatan, sehingga ketika Kemenkeu dan Bappenas sudah memfinalisasi usulan kegiatan maka sidang kabinet hanya membahas isu-isu prioritas saja.
Ketiga, sama halnya dengan sidang kabinet, pembahasan anggaran di DPR juga lebih bersifat formalitas sehingga penggalian substansi kegiatan tidak terjadi. Yang justru terdengar keluar dari DPR adalah pembahasan yang bersifat transaksional sebagaimana yang akhir-akhir ini mencuat di media massa bahwa calo-calo anggaran kini banyak berkeliaran di DPR.
Lalu bagaimana anatomi inefisiensi belanja negara yang banyak dilakukan birokrasi, berikut ini beberapa bentuk kegiatan yang menjadikan kecenderungan pemborosan.Pertama, bahwa banyak kegiatan K/L dengan biaya besar yang outputnya ‘hanya’ kertas yang kegunaannya sangat minimal. Kegiatan berbentuk kajian, penyusunan kebijakan, survei (diluar institusi BPS) yang prioritasnya sangat rendah jumlahnya ditengarai sangat banyak. Modus ini dilakukan dengan cara mengulang substansi bahasan atau minimal sudah pernah dilakukan kajian atau studi sejenis, melakukan kajian pada isu yang tidak penting atau isu yang mengada-ada, atau kajian yang sekedar menjadi ‘stempel’ dari kebijakan yang sudah diambil. Indikasinya dapat kita lihat pada sekitar akhir tahun anggaran akan banyak kegiatan semacam seminar, workshop, konsinyering dan semacamnya yang membahas kajian-kajian tersebut di hotel.
Kedua, birokrat juga manusia. Sudah mafhum kalau PNS di Indonesia punya gaji rendah, kecuali PNS Kemenkeu yang sudah mendapatkan remunerasi sehingga punya penghasilan rata-rata 5-10 kali lipat dari PNS lainnya. Lalu, birokrasi yang takut melakukan korupsi akan berusaha mendapatkan uang tambahan, sekedar mencukupi kebutuhan hidup. Untuk itu birokrat akan mengkomersialisasikan tupoksinya dengan mengkonversikan sejumlah honor pada setiap kegiatan yang dilaksanakan. Setiap honor yang dikeluarkan dibuat dasar hukumnya agar dapat memberikan tambahan penghasilan buat PNS.  Dalam keadaan seperti ini, semakin tinggi jabatan, maka makin banyak honor yang didapatkan. Kegiatan ini dapat berbentuk koordinasi, pemantauan, dan evaluasi tinggal ditambah nomenklatur kegiatannya saja. Hal ini sebenarnya aneh, tuposi sudah melekat dengan gaji, tapi bisa menggandakan lewat honor.
Kedua, birokrasi akan membuat legal segala fasilitas yang dapat dibiayai melalui APBN. Bentuknya adalah segala hal yang berkaitan dengan kedinasan. Kita sorot yang paling besar, yaitu kendaraan dinas jabatan. Birokrat, secara teori  susah untuk mempunyai kendaraan pribadi. Untuk itu mereka menggunakan ‘fasilitas’ APBN untuk mencukupinya. Pemberian kendaraan dinas semakin lama cc-nya semakin besar dan pasti boros BBM. Jangan lupa, rata-rata K/L memberikan tunjangan BBM untuk pejabat eselon 1 dan 2 (beberapa K/L sampai eselon 3 dan 4) sekitar 250 – 500 liter. Eselon 1 di pemerintah pusat sebagian besar menggunakan kendaraan dinas yang ber-cc 2500 cc ke atas, sementara eselon 2  antara 1500-2500 cc. Selain tunjangan BBM, pejabat juga dapat meng-hire sopir pribadi yang dibayar melalui APBN, bukan dari kantong pejabatnya. Bisa dibayangkan efek inefisiensi yang ditimbulkan dari kendaraan dinas. Itu baru dari kendaraan dinas, belum dari fasilitas lain seperti rumah dinas jabatan.
Ketiga, ini masih berhubungan dengan yang pertama, birokrasi lebih senang melakukan kegiatan yang dapat dikonversikan menjadi penghasilan tambahan. Contohnya adalah perjalanan dinas, rapat di luar kantor, rapat di luar kota, dan konsinyering. Tiga kegiatan ini favorit dilakukan di 3 bulan akhir tahun anggaran. Ketika mata anggaran pengeluaran yang lain cukup sulit untuk dicairkan, maka dapat dilakukan pengalihan melalui tiga kegiatan tersebut. Birokrat dengan senang hati melakukan perjalanan dinas, karena akan mendapatkan ‘sedikit’ lumpsum. Mereka juga dengan senang hati untuk rapat atau konsinyering di luar kantor atau luar kota, biasanya di hotel karena akan mendapatkan uang transport. Kalau di luar kota mereka akan mendapatkan tambahan uang lumpsum dan transport. Birokrat juga dapat mengakalinya dengan honor yang lebih besar, misalnya sebagai nara sumber dan lain-lain.
Saat ini, reformasi birokrasi berjalan sangat lamban dan parsial. Kementerian Keuangan yang sudah mendapatkan remunerasi penuh semenjak tahun 2007, juga masih melakukan praktik inefisiensi di atas  karena tidak ada platform yang jelas akan reformasi yang dijalankan. Walhasil, efisiensi birokrasi di Kementerian Keuangan berada dalam level yang sama dengan K/L yang lain yang tidak menjalankan reformasi birokrasi. Lebih parah lagi, dengan mencuatnya kasus Gayus Tambunan mengindikasikan bahwa korupsi belum berkurang signifikan di kementerian ini.
Jika Presiden mengetahui anatomi pemborosan belanja negara, niscaya Presiden akan melakukan reformasi yang serius untuk salah satu mesin pembangunan yang bikin ‘mogok’, yaitu birokrasi.
*)Muhyiddin, MSc, MSE adalah pengamat ekonomi, saat ini bekerja sebagai Perencana Senior di BAPPENAS. Isi merupakan pendapat pribadi, bukan pandangan institusi dimana penulis bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar